إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهَ رَاجِعُوْنَ
“Sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali.”
Yang
namanya musibah tentu rasanya tidak mengenakkan. Makanya banyak manusia
merasa tidak suka bila hidupnya tiba-tiba menjadi menderita karena
musibah. Kehidupan yang selama ini mapan bisa hancur tak bersisa. Tidak
sedikit di antara mereka yang mengalami kesedihan berlarut-larut hingga
menyebabkan stress. Bagaimana kiat menghadapi musibah secara benar dan
bijak?
Dalam menapaki kehidupan dunia yang fana ini, manusia
senantiasa dihadapkan pada dua keadaan, bahagia atau sengsara. Perubahan
keadaan itu bisa terjadi kapan saja sesuai dengan takdir Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Namun hanya orang yang beriman yang bisa lurus
dalam menyikapi silih bergantinya situasi dan kondisi. Hal ini karena ia
meyakini keagungan dan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala serta tahu
akan kelemahan dirinya.
Tidak dipungkiri, musibah dan bencana akan
selalu menyisakan kesedihan dan kepedihan. Betapa tidak, sekian orang
yang dicinta kini telah tiada. Harta benda musnah tak tersisa. Berbagai
agenda dan acara pun harus tertunda. Bahkan segenap pikiran tercurah
untuk meratapi diri.
Kondisi yang menyayat ini terkadang menggugah
orang yang dalam hatinya ada sifat rahmat dan belas kasih. Sehingga
uluran tangan dan bela sungkawa pun mengalir dari berbagai arah.
Intinya, meringankan penderitaan orang yang terkena bencana. Nilai
kepedulian yang datang dari orang lain jelas memberi arti. Namun yang
terpenting adalah bagaimana menghibur hati orang yang menderita itu
serta menumbuhkan seribu harapan untuk menatap masa depannya. Hal ini
penting, karena bantuan dari manusia bisa terputus, dan orang yang
kemarin membantu mungkin saja kini justru perlu dibantu.
Ini
ketika mereka membantu dengan tulus dan tidak ada tendensi lain. Maka
bagaimana kiranya jika kebanyakan orang yang membantu punya
tujuan-tujuan politis atau bahkan para misionaris yang ingin menancapkan
cakarnya di tubuh orang-orang yang lemah untuk dimurtadkan?
Maka
sudah seharusnya kita umat Islam menjadi orang-orang yang terdepan dalam
memberikan bantuan kepada orang-orang yang sedang ditimpa musibah, baik
bantuan moril ataupun materil. Kita paparkan di hadapan umat tentang
keagungan syariat ini serta keindahannya, dan bahwa Islam ini mampu
menjawab problematika zaman. Kita sampaikan hiburan yang datang dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasul-Nya serta petuah para salaf umat ini.
Hakikat Musibah
Musibah
adalah perkara yang tidak disukai yang menimpa manusia. Berkata Al-Imam
Al-Qurthubi: “Musibah adalah segala apa yang mengganggu seorang mukmin
dan yang menimpanya.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 2/175)
Macam-macam Musibah
Sungguh
musibah beragam bentuknya. Ada yang menimpa jiwa seseorang, tubuhnya,
hartanya, keluarganya, dan yang lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ
وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِنَ اْلأَمْوَالِ وَاْلأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ
وَبَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ
“Dan sungguh akan Kami
berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 155)
Ath-Thabari berkata: “Ini
adalah pemberitaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para pengikut
Rasul-Nya, bahwa Ia akan menguji mereka dengan perkara-perkara yang
berat, supaya (nyata) diketahui orang yang mengikuti rasul dan orang
yang berpaling.” (Jami’ul Bayan, 2/41)
Pentingnya Istirja’ ketika Musibah
Istirja’ adalah ucapan:
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهَ رَاجِعُوْنَ
“Sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَبَشِّرِ
الصَّابِرِيْنَ. الَّذِيْنَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا
لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ. أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ
مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ
“Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan: ‘Inna
lillahi wa inna ilaihi raji’un.’ Mereka itulah yang mendapat keberkahan
yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang
yang mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah: 155-157)
Shahabiyah Ummu Salamah menyebutkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا
مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيْبُهُ مُصِيْبَةٌ فَيَقُوْلُ مَا أَمَرَهُ اللهُ:
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي
مُصِيْبَتِي وَاخْلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا؛ إِلاَّ أَخْلَفَ اللهُ لَهُ
خَيْرًا مِنْهَا
“Tiada seorang muslim yang ditimpa
musibah lalu ia mengatakan apa yang diperintahkan Allah (yaitu): ‘Inna
lillahi wa inna ilaihi raji’un, wahai Allah, berilah aku pahala pada
(musibah) yang menimpaku dan berilah ganti bagiku yang lebih baik
darinya’; kecuali Allah memberikan kepadanya yang lebih baik darinya.” (HR. Muslim no. 918)
Ummu Salamah berkata: “Tatkala
Abu Salamah meninggal, aku mengucapkan istirja’ dan mengatakan: ‘Ya
Allah, berilah saya pahala pada musibah yang menimpa saya dan berilah
ganti bagi saya yang lebih baik darinya.’
Kemudian aku
berpikir kiranya siapa orang yang lebih baik bagiku daripada Abu
Salamah? Maka tatkala telah selesai masa ‘iddah-ku, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam (datang) meminta izin untuk masuk
(rumahku) di mana waktu itu aku sedang menyamak kulit… Lalu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melamarku.
Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah selesai dari pembicaraannya, aku berkata: ‘Wahai
Rasulullah, sebenarnya saya mau dilamar tapi saya seorang wanita yang
sangat pencemburu. Saya khawatir, anda akan melihat dari saya sesuatu
yang nantinya Allah akan mengazab saya karenanya. Saya juga orang yang
sudah berumur dan banyak anak.’
Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: ‘Adapun apa yang engkau sebutkan tentang sifat
cemburu, niscaya Allah akan menghilangkannya. Dan apa yang engkau
sebutkan tentang umur maka aku juga sama (sudah berumur). Dan yang
engkau sebutkan tentang banyaknya anak, maka anakmu adalah
tanggunganku.’
Aku berkata: ‘Aku menyerahkan diriku kepada Rasulullah.’ Lalu beliau menikahiku.
Ummu
Salamah berkata setelah itu: “Allah telah menggantikan untukku yang
lebih baik dari Abu Salamah, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.” (HR. Ahmad)
Ini merupakan bukti dari firman Allah:
وَبَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ
“Dan berilah berita gembira bagi orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 155)
Yaitu adakalanya
seseorang diberi ganti oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan yang lebih
baik. Seperti yang dialami Ummu Salamah ketika suaminya meninggal.
Ketika Ummu Salamah mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan mengucapkan apa yang beliau perintahkan dengan penuh
ketaatan, Allah Subhanahu wa Ta’ala ganti dengan yang lebih baik
darinya, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya
kebaikan adalah apa yang dikatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya sedangkan kesesatan serta kecelakaan ada pada penyelisihan
terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Tatkala Ummu
Salamah tahu bahwa segala kebaikan yang ada di alam ini -baik umum atau
khusus- datangnya dari sisi Allah, dan bahwa segala kejelekan yang ada
di alam ini yang khusus menimpa hamba dikarenakan menyelisihi Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, maka ketika Ummu Salamah mengucapkan
kalimat tersebut ia mendapatkan kemuliaan mendampingi Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam di dunia dan akhirat. Terkadang pula dengan kalimat
istirja’ tadi seorang hamba mendapatkan kedudukan yang tinggi dan pahala
yang besar.
Kalimat ini (إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ
رَاجِعُوْنَ) mengandung obat/penghibur dari Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan Rasul-Nya bagi orang yang ditimpa musibah. Kalimat ini adalah
sesuatu yang paling tepat dalam menghadapi musibah dan lebih bermanfaat
bagi hamba untuk di dunia ini dan akhirat kelak. Karena di dalamnya
terkandung pengakuan yang tulus bahwa hamba ini, jiwanya, keluarganya,
hartanya dan anaknya adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah jadikan itu semua sebagai titipan yang ada
pada hamba. Jika Allah mengambilnya maka itu seperti seseorang yang
mengambil barang yang dipinjam oleh peminjam.
Kalimat ini juga
mengandung pengukuhan bahwa kembalinya hamba hanya kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Seseorang pasti akan meninggalkan dunia ini di
belakang punggungnya. Ia akan menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala pada
hari kiamat sendirian, sebagaimana awal mulanya. Tiada keluarga dan
harta yang bersamanya. Ia akan datang nanti dengan membawa amal kebaikan
dan amal kejelekan.
Penghibur Kesedihan
Sebagian orang menyangka bahwa orang yang ditimpa penyakit atau
semisalnya adalah orang yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala, padahal
tidak seperti itu kenyataannya. Karena terkadang seorang diuji dengan
penyakit dan musibah padahal ia seorang yang mulia disisi-Nya seperti
para nabi, rasul, dan orang shalih. Sebagaimana yang dialami Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika masih di Makkah, saat
perang Uhud dan Ahzab serta ketika wafatnya. Musibah juga menimpa Nabi
Ayyub, Nabi Yunus, dan nabi yang lainnya ‘alaihimussalam. Itu semua
untuk mengangkat kedudukan mereka dan dibesarkannya pahala serta sebagai
contoh (kesabaran) bagi orang yang datang setelah mereka.
Terkadang
seorang diuji dengan kesenangan -seperti harta yang banyak, istri,
anak-anak, dan lainnya- namun tidak sepantasnya untuk dikatakan sebagai
orang yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala jika ia tidak melakukan
ketaatan kepada-Nya. Orang yang mendapatkan itu semua bisa jadi memang
orang yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan bisa jadi orang yang
dimurkai-Nya.
Keadaannya berbeda-beda, sedangkan kecintaan di sisi
Allah Subhanahu wa Ta’ala bukanlah karena kedudukan, anak, harta dan
jabatan. Kecintaan di sisi-Nya diraih dengan amal shalih, takwa dan
kembali kepada Allah serta melaksanakan hak-hak-Nya. (lihat Majmu’
Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz, 7/150-151)
Seorang mukmin hendaklah
yakin bahwa apa yang ditakdirkan Allah Subhanahu wa Ta’ala niscaya akan
menimpanya, tidak meleset sedikit pun. Sedangkan apa yang tidak
ditakdirkan oleh-Nya pasti tidak akan menimpanya. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ فِي
اْلأَرْضِ وَلاَ فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ
نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ. لِكَيْ لاَ تَأْسَوْا
عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوا بِمَا ءَاتَاكُمْ وَاللهُ لاَ
يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍ
“Tiada suatu bencana
pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan
telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan
yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang
luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang
sombong lagi membanggakan diri.” (Al-Hadid: 22-23)
Seseorang
yang ditimpa musibah hendaklah melihat apa yang ada dalam Kitabullah
dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Niscaya ia akan
mendapatkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan sesuatu yang
lebih besar dari lenyapnya musibah, bagi orang yang sabar dan ridha.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُوْنَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az-Zumar: 10)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا
يَزَالُ الْبَلاَءُ بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِي جَسَدِهِ وَمَالِهِ
وَوَلَدِهِ حَتَّى يَلْقَى اللهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيْئَةٌ
“Senantiasa
bala` (cobaan) menimpa seorang mukmin dan mukminah pada tubuhnya, harta
dan anaknya, sehingga ia berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak
memiliki dosa.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, dan lainnya, dan
dinyatakan hasan shahih oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan
At-Tirmidzi, 2/565 no. 2399)
Seorang yang ditimpa musibah
hendaklah tahu bahwa di setiap sudut kampung dan kota bahkan setiap
rumah, ada orang yang tertimpa musibah. Di antara mereka ada yang
terkena musibah sekali dan ada pula yang berkali-kali. Hal itu tidak
terputus sampai seluruh anggota keluarga terkena semua. Dengan demikian
ia akan merasakan ringannya musibah karena bukan hanya dia yang terkena
cobaan.
Jika melihat ke kanan, ia tidak melihat kecuali orang yang
terkena musibah. Dan jika melihat ke kiri, ia tidak melihat kecuali
orang yang sedih. Bila orang yang terkena musibah tahu bahwa jika dia
memerhatikan alam ini tidaklah ia melihat kecuali di tengah-tengah
mereka ada yang terkena musibah, baik dengan lenyapnya sesuatu yang
dicintai atau tertimpa dengan sesuatu yang tidak mengenakkan. Maka dia
akan tahu bahwa kebahagiaan dunia hanyalah seperti mimpi dalam tidur
atau bayangan yang lenyap. Jika kesenangan dunia membuat tertawa
sedikit, ia akan menjadikan tangis yang banyak. Dan tidaklah suatu rumah
dipenuhi keceriaan kecuali suatu saat akan dipenuhi ratap tangis.
Muhammad bin Sirin berkata: “Tiada suatu tawa kecuali setelahnya akan
datang tangis.”
Seorang hamba melihat dengan mata hatinya
sehingga ia tahu bahwa pahitnya kehidupan dunia itu adalah suatu hal
yang manis di akhirat dan manisnya dunia merupakan perkara yang pahit di
negeri akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala lah yang membaliknya.
Lihatlah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يُؤْتَى
بِأَنْعَمِ أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
فيُصْبَغُ فِي النَّارِ صَبْغَةً ثُمَّ يُقَالُ: يَا ابْنَ آدَمَ، هَلْ
رَأَيْتَ خَيْرًا قَطُّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ نَعِيْمٌ قَطُّ؟ فَيَقُوْلُ: لاَ،
وَاللهِ يَا رَبِّ. وَيُؤْتَى بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا فِي الدُّنْيَا
مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيُصْبَغُ صَبْغَةً فِي الْجَنَّةِ فَيُقَالُ
لَهُ: يَا ابْنَ آدَمَ، هَلْ رَأَيْتَ بُؤْسًا قَطُّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ
شِدَّةٌ قَطُّ؟ فَيَقُوْلُ: لاَ، وَاللهِ يَا رَبِّ، مَا مَرَّ بِي بُؤْسٌ
وَلاَ رَأَيْتُ شِدَّةً قَطُّ
Di hari kiamat nanti
akan didatangkan seorang penduduk dunia yang paling mendapatkan nikmat
dari penghuni neraka, lalu ia dicelupkan ke dalam neraka sekali celupan,
kemudian ditanya: “Wahai anak keturunan Adam, apakah kamu pernah
melihat kebaikan? Apakah kamu pernah mendapatkan kenikmatan?” Ia
menjawab: “Tidak, demi Allah, wahai Rabbku.” Dan akan didatangkan
seorang yang paling menderita di dunia dari penduduk surga lalu ia
dicelupkan ke dalam surga sekali celupan, kemudian ditanya: “Wahai anak
keturunan Adam, pernahkah kamu melihat penderitaan? Pernahkah kamu
merasakan kesengsaraan?” Ia menjawab: “Tidak demi Allah, wahai Rabbku.
Tidak pernah aku mengalami penderitaan dan tidak pernah melihat
kesengsaraan.” (HR. Muslim no. 2807)
Orang yang ditimpa
musibah hendaklah meminta pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan bertawakal kepada-Nya. Hendaklah ia tahu bahwa Allah Subhanahu wa
Ta’ala bersama orang-orang yang sabar.
Hendaklah orang yang
ditimpa musibah memantapkan dirinya sehingga tahu bahwa musibah yang
datang kepadanya itu datang dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, sesuai
dengan keputusan dan takdir-Nya. Hendaknya dia menyadari pula bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah menakdirkan musibah kepadanya untuk
membinasakan dan menyiksanya, tetapi Ia mengujinya untuk diuji kesabaran
dan keridhaannya serta pengaduannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
‘
Hendaklah diketahui bahwa musibah yang paling besar adalah musibah yang
menimpa agama seorang. Seperti seseorang yang dahulu rajin ibadah,
namun kini bermalas-malasan, atau orang yang dulunya taat kini
meninggalkannya dan suka dengan kemaksiatan. Inilah musibah yang tidak
ada keberuntungannya sama sekali.
‘Al-Imam Ibnul Jauzi menyebutkan
beberapa perkara untuk mengobati musibah sehingga seorang tidak
berlarut-larut dalam kesedihan yang bisa membinasakan dan mengabaikan
hak dan kewajiban, yaitu:
- Mengetahui bahwa dunia tempat ujian dan petaka serta bahwa musibah suatu hal yang pasti terjadi.
-
Memperkirakan adanya orang yang ditimpa musibah lebih besar dan banyak
dari musibahnya, serta melihat keadaan orang yang ditimpa musibah
seperti musibahnya sehingga ia terhibur karena bukan hanya dia saja yang
terkena musibah.
- Meminta ganti yang lebih baik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengharap pahala dari kesabarannya.
(Diambil dari kitab Tasliyatu Ahlil Masha`ib karya Al-Imam Muhammad Al-Munbajja Al-Hanbali -dengan ringkas- hal. 13-22)
Faedah di Balik Musibah
Allah
Maha Bijaksana, tiada keputusan dan ketentuan-Nya yang lepas dari
hikmah. Tidak terkecuali dengan perkara musibah ini. Kalaulah seandainya
tidak ada faedah dari musibah ini kecuali sebagai penghapus dosa di
mana itu saja sudah mencukupi, bagaimana kiranya jika di sana ada
setumpuk faedah? Subhanallah!
Shahabat Ibnu Mas’ud berkata: “Aku
masuk kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang
demam, aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau sangat
demam.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Benar,
sesungguhnya aku merasakan demam seperti demamnya dua orang di antara
kalian.’ Aku berkata: ‘Yang demikian karena engkau mendapat pahala dua
kali lipat.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Benar, memang
seperti itu. Tiada seorang muslim pun yang ditimpa sesuatu yang
mengganggu, sakit atau selainnya kecuali Allah akan mengampuni dosanya
seperti pohon yang merontokkan daunnya’.” (HR. Muslim no. 2571, Kitabul
Birri wash Shilah)
Berikut ini beberapa faedah dari musibah:
1. Musibah yang menimpa menunjukkan kepada manusia akan kekuasaan Allah dan lemahnya hamba.
2.
Musibah menjadikan hamba menuluskan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala, karena tiada tempat untuk mengadukan petaka kecuali Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan tiada tempat bersandar agar tersingkapnya petaka
kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ
“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (Al-’Ankabut: 65)
3.
Musibah menjadikan seorang kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
bersimpuh di hadapan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا مَسَّ اْلإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيْبًا إِلَيْهِ
“Dan apabila manusia itu ditimpa kemudaratan, dia memohon (pertolongan) kepada Rabbnya dengan kembali kepada-Nya.“ (Az-Zumar: 8)
4. Musibah menjadikan seorang mempunyai sifat penyantun dan pemaaf terhadap orang yang melakukan kesalahan kepadanya.
5.
Musibah menyebabkan seorang bersabar atasnya. Dan sabar menyebabkan
datangnya kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala serta pahala-Nya yang
banyak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاللهُ يُحِبُّ الصَّابِرِيْنَ
“Dan Allah cinta orang-arang yang sabar.” (Al-’Imran: 146)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ
“Tidaklah seorang diberi pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Al-Bukhari no. 781)
6. Bergembira dengan musibah karena besarnya faedah dari musibah ini. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمْ لَيَفْرَحُ بِالْبَلاَءِ كَمَا يَفْرَحُ أَحَدُكُمْ بِالرَّخَاءِ
“Dan
sungguh salah seorang dari mereka (yakni orang-orang yang shalih)
merasakan senang terhadap bala` (musibah) seperti salah seorang kalian
suka terhadap kemakmuran.” (Shahih Sunan Ibnu Majah, 3/318, no. 3266)
7. Musibah akan membersihkan dosa dan kesalahan.
8.
Musibah akan menumbuhkan sifat belas kasihan pada diri seseorang
terhadap yang ditimpa musibah dan membantu untuk meringankan beban
mereka.
9. Mengetahui besarnya nikmat sehat serta mensyukurinya,
karena nikmat tidaklah diketahui kadar besarnya kecuali setelah tidak
adanya.
10. Di balik dari musibah ada faedah-faedah yang tersembunyi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا
“Mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)
Tatkala
raja yang bengis hendak merampas Sarah (istri Nabi Ibrahim
‘alaihissalam) dari Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, ternyata di balik
musibah itu sang raja akhirnya memberikan seorang pembantu yang bernama
Hajar kepada Sarah. Dari Hajar (istri Ibrahim ‘alaihissalam), lahirlah
Isma’il, dan di antara keturunan Isma’il adalah penutup para nabi dan
rasul yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
11. Musibah
dan penderitaan akan menghalangi sifat sombong, angkuh, dan kebengisan.
Kalaulah raja Namrud yang kafir itu seorang yang fakir, sakit-sakitan,
tuli dan buta, tentulah ia tidak akan membantah Nabi Ibrahim tentang
Rabbnya. Namun keangkuhan kekuasaan itulah yang menyebabkan Namrud
menentang Ibrahim. Dan seandainya Fir’aun itu fakir dan sakit-sakitan
tentu ia tidak akan mengatakan: ‘Sayalah Rabb kalian yang paling
tinggi.’
Allah berfirman:
إِنَّ اْلإِنْسَانَ لَيَطْغَى. أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى
“Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (Al-’Alaq: 6-7)
Dan firman-Nya:
وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيْرٍ إِلاَّ قَالَ مُتْرَفُوْهَا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُوْنَ
“Dan
kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan pun
melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata:
‘Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk
menyampaikannya’.” (As-Saba: 34)
Sedangkan orang-orang fakir
dan lemah mereka banyak yang menjadi wali-wali Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan pengikut para Nabi. Karena faedah-faedah yang mulia ini, maka orang
yang paling besar cobaannya adalah para nabi, kemudian yang semisal
mereka, kemudian yang semisalnya. Mereka dituduh sebagai orang-orang
gila, tukang sihir, dan sekian ejekan lainnya. Namun mereka bersabar
atas pendustaan dan gangguan orang-orang kafir tersebut. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ
وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ
قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِيْنَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيْرًا
“Kalian
sungguh-sungguh akan diuji terhadap harta dan diri kalian, dan juga
kalian sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab
sebelum kalian dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah,
gangguan yang banyak.” (Ali ‘Imran: 186) [Dinukil dari Tafsir Al-Qasimi -dengan ringkas- 1/405-409]
Kewajiban Bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Merendahkan Diri di Hadapan-Nya ketika Datang Musibah
Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan hikmah-Nya yang mendalam menguji hamba-Nya
dengan kesenangan dan penderitaan untuk menguji kesabaran dan syukur
mereka. Barangsiapa bersabar ketika mendapat musibah dan bersyukur
ketika mendapat nikmat serta bersimpuh di hadapan-Nya saat mendapat
cobaan, dengan mengadu kepada-Nya akan dosa dan kekurangannya serta
memohon rahmat dan ampunan-Nya, sungguh ia telah beruntung dan meraih
kesudahan yang baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
“Dan Kami uji mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang jelek-jelek agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (Al-A’raf: 168)
Dan firman-Nya:
ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
“Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Ruum: 41)
Yang
dimaksud dengan kebaikan di sini adalah nikmat seperti kesuburan,
kemakmuran, kesehatan, dimenangkan atas musuh dan semisalnya. Sedangkan
yang dimaksud dengan kejelekan adalah musibah seperti penyakit, dikuasai
oleh musuh, gempa, angin topan, banjir yang menghancurkan dan
semisalnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala uji dengan itu semua agar manusia
kembali ke jalan yang benar, segera bertaubat dari dosa dan bergegas
menuju ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Karena
kekufuran dan maksiat adalah sumber segala bencana di dunia dan di
akhirat. Adapun beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, menaati
Rasul-Nya dan berpegang teguh dengan syariat-Nya adalah sumber kemuliaan
dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-Nya
untuk bertaubat kepada-Nya di saat turunnya musibah. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِنْ
قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ
يَتَضَرَّعُوْنَ. فَلَوْلاَ إِذْ جَاءَهُمْ بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلَكِنْ
قَسَتْ قُلُوْبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَا كَانُوا
يَعْمَلُوْنَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus
(rasul-rasul) kepada umat-umat sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka
dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan supaya mereka bermohon
(kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka mengapa mereka tidak
memohon (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) dengan tunduk merendahkan
diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah
menjadi keras dan setan pun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang
selalu mereka kerjakan.” (Al-An’am: 42-43)
Telah shahih
riwayat dari Amirul Mukminin Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullahu bahwa
beliau menulis surat kepada para gubernurnya ketika terjadi gempa di
zamannya. Beliau menyuruh mereka untuk memerintahkan kaum muslimin
supaya bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, merendahkan diri di
hadapan-Nya, dan beristighfar dari dosa-dosa. (lihat Majmu’ Fatawa
Asy-Syaikh Ibnu Baz, 2/126-129)
Wallahu a’lam bish-shawab.